BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat
pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa. Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan
sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang
dimiliki orang lain. Hak asasi manusia tedirii atas dua hak yang paling
fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini
maka akan sulit untuk menegakkan hak asasi lainnya.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan
penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya.
Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya
mengundang hak untuk mengikuti kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat
kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut. Tuhan
memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan
menyempurnakannya.
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat
kodrati dan fundmental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau
negara.
Dengan demikian, hakikat pengormatan dan perlindungan terhadap
HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan. Keseimbangan adalah antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati,
melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun
militer), dan negara.
B.
Pokok Permasalahan.
Dalam
makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.
Upaya Pencegahan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
2.
Pengakuan dan Upaya
Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
3.
Upaya Pemerintah dalam
Penegakan HAM
4.
Pemerintah Masih Harus
Bekerja Keras dalam Penegakan HAM
C.
Tujuan
Penelitian
ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
pengertian HAM dan bagian-bagiannya.
2.
Untuk memahami arti HAM
sesungguhnya.
3.
Untuk mencari tahu sejauh
mana penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
4.
Untuk mencari tahu upaya
yang bisa dilakukan untuk mencegah pelanggaran HAM di Indonesia.
5.
Untuk mengetahui
contoh-contoh pelanggaran HAM.
D.
Manfaat
Penelitian
ini memiliki manfaat sebagai berikut :
1.
Kita bisa mengetahui
Pengertian HAM dan bagian-bagiannya.
2.
Kita bisa memahami arti
HAM sesungguhnya.
3.
Kita bisa mengetahui
sejauh mana penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
4.
Kita bisa mengetahui upaya
yang bisa dilakukan untuk mencegah pelanggaran HAM di Indonesia.
5.
Kita bisa mengetahui
contoh-contoh pelanggaran HAM.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
HAM adalah hak-hak dasar yang
dimiliki oleh maunusia, sesuai dengan kodratnya (kaelan: 2002).
John
Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994). Dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerag-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh nagara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
Hak
asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah
Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian dari manusia atau pengusaha. Hak asasi
manusia sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat
kodrati yakni tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Ciri
Pokok Hakikat HAM :
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM, yaitu:
1.
HAM tidak perlu diberikan,
dibeli, ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2.
HAM berlaku untuk semua
orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agam, etnis, pandangan politik atau
asal-usul social dan bangsa.
HAM
tidak bisa dilanggar. Tidak seoarangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
B. Perkembangan
Pemikiran HAM
1.
Pemikiran HAM
Generasi
pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan
politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik
disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya
keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib
hukum yang baru.
Generasi
kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua
menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa
generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi
ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi, dan hak politik.
Generasi
ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan
adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam
suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam
pelaksanaannya hasil pemikiran generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan
dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi
menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya yang dilanggar.
Generasi
keempat yang mengkritik peranan Negara yang sangat dominan dalam proses
pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak
negatif seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program
pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara
keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM
generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun
1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the
basic Duties of Asia People and Government.
2. Perkembangan
pemikiran HAM di Indonesia
a.
Pemikiran HAM periode
sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk
mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
b.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah
berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
c.
Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD
1945.
d.
Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku
konstitusi Republik Indonesia Serikat.
e.
Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950.
f.
Periode 5 juli sampai sekarang, berlaku kembali UUD 1945.
C. Landasan
Hukum HAM
1.
Instrumen Nasional :
a.
UUD 1945 beserta amandemenya.
b.
Tap MPR No. XVII/MPR/1998;
c.
UU No. 39 Tahun 1999;
d.
UU No. 26 Tahun 2000;
e.
UU No. 40 Tahun 2008;
f.
Peraturan perundang-undangan nasional lainnya yang terkait.
2. Instrumen
Internasional :
a.
Piagam PBB, 1945;
b.
Deklarasi Universal HAM 1948;
c.
Instrumen internasioanl lain mengenai HAM yang telah disahkan
dan diterima oleh Indonesia.
BAB III
RUMUSAN MASALAH
A.
Permasalahan HAM Yang
Ada Di Indonesia
Berikut
ini adalah beberapa permasalahan HAM yang ada di Indonesia:
1.
Pelanggaran HAM oleh TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto,
dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk
menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa
pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2.
Kasus Pelanggaran HAM yang
terjadi di Maluku
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku
untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif
stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram
dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat
sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1
bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus
yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah
perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat
biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan
pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem
pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade
dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana
kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom
di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas,
sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar,
ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang
sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku. Masyarakat kini semakin
tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan
karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya
penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah
Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen
akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap
situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan
proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik,
sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa
dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus.
Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam
dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan
dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti
pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul
mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi
oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi
sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas;
serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara
supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga
sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban
langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit
untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan
Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah
menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu
masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh
NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan
kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat
dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang
tidak berfungsi. Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua
pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan
kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan banyak
provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang
selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim
Maluku).
3.
Pelanggaran HAM atas nama agama.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan
atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan
kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama
apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak
suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir
ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama
melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror
dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan
orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di
sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu
terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya.
Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang
disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq
tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang
super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur
dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga
kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman
dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini
membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya
baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan
dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh
para teroris kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di
seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George
Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena
gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan dirinya sebagai
penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari para teroris Muslim
Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung “fundamentalis” entah itu
Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’,
sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven,
barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering
menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah
sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus
yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu
bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan
dibawah payung Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu,
melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang melawan/menindas orang
lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi? membela
doktrin, ataukah membela diri sendiri?
4.
Pelanggaran HAM oleh
mantan gubernur TIM-TIM.
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang
diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan
pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah
keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda
tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan
atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat
Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal
politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut
adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat
meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM
hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan
subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal
Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun
penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan
bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya
adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat
hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia
dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan
“diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena
terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan
Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos
Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor
Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.
Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya
hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan
oleh orang Indonesia”.
5.
Kontroversi G30S.
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara
seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa
muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis
PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian
sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena
pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini
selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian
yang terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965
berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang
melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita
Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian
direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung
Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh
koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian
massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban
pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39
artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara
78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara
sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada
kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh
sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,
menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat,
hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah
melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut
pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang
kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama
islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga
berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga
sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang
Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb,
berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya
mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding
tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan
massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan
kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski
memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang
dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer
(terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru
dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang
memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,”
ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah
dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang
kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai
sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang
diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema
”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas
menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang
dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia,
sampai hari ini. Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan
gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif
sebagian mereka yang masih hidup. Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS
dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar
adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita.
“saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di
sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November
1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera
terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit
persalinan dan langsung dibunuh.” Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965
berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim
pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah
atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya
mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah
yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya
meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda
menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami
mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang
sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian
dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya. Bisa jadi memang benar,
dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah
secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
6.
Kasus Pembunuhan Munir.
Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah
aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di
Malang, 8 Desember 1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di
Indonesia seperti kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak
lagi. Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda
Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda.
Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir
meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun,
sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum
di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang
masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty
Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari
Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena
terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir, karena
dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.
7.
Pembunuhan Aktivis Buruh
Wanita, Marsinah.
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT.
Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah
muncul ketika Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS
menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3
dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika
Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada
tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di
sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa
Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
8.
Penembakan Mahasiswa
Trisakti.
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu
kasus penembakan kepada para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh
para anggota polisi dan militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas
Trisakti sedang melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis
Finansial Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan
mahasiswa mengalami luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan
meninggal karena ditembak peluru tajam oleh anggota polisi dan militer/TNI.
Kasus ini masuk dalam daftar catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, dan
pernah diproses.
B.
Upaya Yang Dilakukan
Pemerintah Indonesia Dalam Penegakkan HAM
Dewasa ini banyak kalangan yang berasumsi negatif
terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa
pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat
kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut;
1.
Indonesia menyambut baik
kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di
setiap negara dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran HAM
internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman Presiden atas beberapa
agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan,
dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada
Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil,
wanita dan anak-anak.
2.
Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM,
antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun
2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM.
Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan
kepres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan terhadap
perempuan.
3.
Pengeluaran Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia , Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih
banyak UU yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak asasi
manusia.
Menjadi titik berat adalah hal-hal yang tercantum dalam
UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah sebagai berikut;
1. Hak
untuk hidup.
2. Hak berkeluarga.
3. Hak memperoleh keadilan.
4. Hak atas kebebasan pribadi.
5. Hak kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita.
10. Hak anak.
Ha-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia
tidak main-main dalam penegakan HAM.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak
dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu
mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat
bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap individu
dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah lebih dulu memperhatikan
HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam
itu yaitu Al-Quran dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normative, juga
terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.
Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundan-undangan RI, dimana setiap
bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Penegakan HAM di
Indonesia masih dirasa kurang,karena masih banyak terjadi kasus-kasus
pelanggaran HAM, baik kasus-kasus yang ringan maupun yang dapat dikategorikan
kasus pelanggaran HAM yang berat. Upaya pemerintah dalam penegakan HAM kini
mulai terasa dengan dibentuknya beberapa lembaga HAM dan diharapkan dapat
mewujudkan keadilan dalam HAM setiap warga negara Indonesia.
2.
Saran
Sebagai
makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dam diinjak-injak oleh rang lain.
Jadi
dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM
kita dengan HAM orang lain.