Kamis, 01 Desember 2016

Makalah Tentang Mu’tazilah

BAB 1
  PENDAHULUAN
A.Pengertian Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.Mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya. adapaun hasarat untuk menghancurkan islam dikalangan peneluk islam sendiri,
Dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.




BAB II
     PEMBAHASAN
A. Munculnya Golongan Atau Kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah)..
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim.
Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.


AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926 mencantumkan istilah aswaja pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati Zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan terpecah) dan seterusnya.

Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?


Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.

Pendapat kedua;
Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Risâlatut Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.
Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.

Konsep Aswaja Versi NU
“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian. Begitu juga kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia adalah pencuri”. (Einar,opcit,hal 69).Demikian Hadatus Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan aswaja.
Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah
 Agenda Aswaja di Era Modern
Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus dipahami sebagai upaya dini untuk merespons perkembangan pemikiran yang tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan normatif Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode berpikir pada tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep
 BAB III
         PENUTUP
Kesimpulan
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
AHLUSUNNAH WAL JAMAAH
Jadi dari pembahasan diatas tentang ASWAJA bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat


DAFTAR PUSTAKA
,[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:  aniuhnia Press, 2005). hal. 24

[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120

[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497

[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…., hal. 120

[6] Ibid

[7] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66

[8] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124

[9] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results

[10] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121

[11] Ibid

[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal. 67-68



Tidak ada komentar:

Posting Komentar